
Tapi, catatan dan testimoni mengenai sumbangsih kyai besar ini pada bangsa, peradaban dan manusia, mengalir deras dan terlampau besar untuk dibingkai oleh sekedar gelar pahlawan nasional.
Bahkan, mantan Ketua MPR Amien Rais menganggap tokoh yang akrab disapa Gus Dur ini otomatis pahlawan nasional.
Jadi, tak ada satu keraguan pun untuk menyebut Gus Dur pahlawan nasional karena dia telah melampaui dirinya dalam memajukan nilai-nilai kemanusiaan yang juga diperjuangan para pahlawan dan pencerah besar dunia, semasa dan sebelum masanya.
Salah satu nilai kepahlawan yang menonjol darinya adalah pembelaan heroiknya terhadap kesetaraan. Tak hanya ras, tapi juga kesempatan sosial, hak politik, jender, dan praktik berkeyakinan.
Tema kesetaraan pula yang menjadi salah satu judul agung perjuangan tokoh-tokoh besar manusia, dari era Yunani kuno, zaman para nabi, revolusi-revolusi sosial seperti Revolusi Prancis, dekolonisasi Asia dan Afrika, hingga perjuangan memperoleh hak-hak sipil di beberapa dekade lalu.
"Perjuangan mencapai kesetaraan adalah tema besar dalam sejarah dunia," kata penulis Amerika J.R. Pole, yang dalam bukunya "The Pursuit of Equality in American History" menyebut Revolusi Amerika diawali oleh semangat kesetaraan.
Gus Dur memperjuangkan kesetaraan seperti itu.
Dia ikhlas dan tak henti mendampingi kelompok lemah seperti Nabi Musa AS membela minoritas Bani Israel di zaman Firaun, atau seperti Cipto Mangunkusumo, Danudirja Setiabudi dan Suwardi Suryaningrat dalam memelopori perlawanan damai mendobrak "politik kelas" kolonial Belanda.
Gus Dur juga memproklamasikan kebhinekaan seterang-terangnya.
Begitu menjadi Presiden RI, dia memulihkan hak-hak minoritas keturunan Tionghoa, mengizinkan Papua mengenakan identitasnya, bahkan mengawali peta damai di Aceh.
"Kami merasa diperhatikan dan dihargai sebagai etnis yang minoritas di negeri ini," kata tokoh etnis Tionghoa Madura, Kosala Mahinda (Antara, 31/12).
Langkahnya itu mungkin semonumental Presiden AS ke-16 Abraham Lincoln yang menghapus perbudakan, Nelson Mandela yang menumbangkan diskriminasi ras di Afrika Selatan, atau Martin Luther King yang berjuang untuk hak-hak sipil warga kulit hitam AS.
Membebaskan
Gus Dur paham benar bahwa kesetaraan adalah inti demokrasi dan jiwa bangsa majemuk seperti negerinya Indonesia.
Kesetaraan melahirkan sikap toleran, dan sikap ini pula yang membuat mayoritas penduduk Nusantara menerima Islam di abad lalu, atau Andalusia menerima Bani Ummayyah 11 abad silam seperti sejarawan Inggris Martin Sharp Hume menggambarkannya dalam "Spanish People."
Bersama demokrasi, mengutip profesor linguistik Noam Chomsky, kesetaraan itu esensial bagi kelangsungan hidup manusia.
"Kesetaraan berlaku universal, abadi, dan membebaskan manusia," sambung filsuf Alexis de Tocqueville.
Tetapi kesetaraan yang dikonsepsikan dan diperjuangkan Gus Dur tak besar karena pemikiran luar masyarakatnya semata. Sebaliknya, dia gali dari masyarakatnya dan tumbuh dari fondasi berketuhanan yang kokoh.
Dia berilmu amat tinggi, memahami luar dalam bangsanya, dan konsisten bersisian dengan kaum lemah.
Dengan kecerdasannya dia sebenarnya bisa sampai di universitas-universitas hebat dunia, namun ulama besar ini memilih memuliakan dirinya bersama rakyat kecil.
Penulis Australia Greg Barton melukiskan pemihakan Gus Dur pada rakyat kecil itu pada salah satu bagian buku, "Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid."
Pada 1970an, pesantren berjuang keras mendapatkan pendanaan pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Gus Dur memprihatinkan keadaan ini bakal melunturkan nilai tradisional pesantren, tetapi dia juga mempedulikan kemiskinan pesantren.
Kerisauan itu membuatnya urung belajar di luar negeri dan memilih mengembangkan pesantren. Beberapa tahun kemudian, dia tak saja berhasil memberdayakan pesantren, namun juga mereformasi Nahdlatul Ulama.
Harapan
Gus Dur adalah teladan untuk kesederhanaan, kepercayaan diri, keikhlasan, pengenalan mendalam atas banyak tema hidup, dan tentang hidup yang meninggikan esensi.
Dia mengajarkan keberanian seperti Rasulullah menitahkan umatnya, "qulil-haqqa walau kaana murran (Katakanlah kebenaran itu walaupun pahit)."
Bagi mereka yang mengikuti politik era 1980an dan awal 1990an di mana Soeharto kuat mencengkram dan hampir semua orang membeo kepada Soeharto, Gus Dur adalah salah seorang tervokal dari sedikit orang yang berani kritis.
Kritik tajamnya yang selalu menghias media asing seperti BBC karena media nasional dimandulkan rezim, telah menyemangati para pembela kaum terpinggirkan, seperti pada kasus Kedung Ombo dua dekade silam.
"Dia adalah harapan demokrasi," kata kolumnis Inggris, Gideon Rachman dalam blognya, blogs.ft.com/rachmanblog (31/12).
Gus Dur juga mengajari bangsanya tentang demokrasi dan kemanusiaan, tanpa ke luar dari identitas lokal bangsanya, karena dia memang besar dari perut rakyat.
Dia intelektual yang secara harmonis menginderai benar suhu tubuh bangsanya, sekaligus cerdas menyikapi atmosfer yang melingkupi bangsanya.
Konstruksinya mengenai demokrasi dibangun dari akar bangsanya, tidak mentah-mentah menelan konsepsi asing, bahkan secara kultural seeklektis pendahulunya, Bung Karno.
Mendobrak
Dalam pemerintahannya yang singkat, sesuai nama tengahnya "ad-Dakhil" yang juga nama penakluk Spanyol 12 abad lalu Abdurrahman ad-Dakhil, Gus Dur mendobrak banyak hal yang justru prinsipil dalam berdemokrasi.
Dia dudukkan tentara di tempatnya, dia sapih polisi dari militerisme, dia dorong supremasi sipil dalam bernegara.
Lengannya tak berlumur darah. Ucapannya, meski nyeleneh, selalu memiliki landasan teologis, intelektual dan sandaran norma sosial yang kuat.
Semua sikap, kata dan lakunya dibaktikan untuk yang terpinggirkan dan kelompok yang mesti diayomi oleh kaum yang lebih banyak.
Tiga puluh hari sebelum meninggal dunia, dalam derita fisik tak terperi, dia menjaminkan dirinya untuk dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.
Ini adalah bukti dia tak berhenti membela yang terzalimi, sekaligus abadi berjuang untuk kemanusiaan.
Segala sumbangsih, pemikiran, sikap dan lakunya jauh melampaui dirinya. Dan ini, mengutip sejarawan Anhar Gonggong, adalah esensi dari pahlawan.
Dua reformis ikonik yang acap berseberangan dengannya, Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais, bahkan memaklumatkan semua ukuran pahlawan nasional telah dipenuhi Gus Dur sehingga dia otomatis pahlawan nasional.
"Sudah selayaknya Gus Dur mendapatkan gelar pahlawan nasional, siapa pun atau pihak mana pun tidak perlu lagi mempersoalkannya," kata Amien Rais di Malang, Rabu pekan lalu (Antara, 2/1).
Tapi, jika gelar itu sulit untuk segera disematkan kepadanya karena diskusi kepahlawanan menjadi menjadi demikian politis seperti disebut editorial Media Indonesia (7/1), maka Gus Dur tetaplah pahlawan.
Pecinta kemanusiaan yang memahami benar berketuhanan dan pembaru dari semua pembaru itu bahkan lebih dari sekedar pahlawan nasional. Dia pahlawan kemanusiaan, dia pahlawan peradaban. (*)
Bagi warga Jombang, Jawa Timur, memberi predikat pahlawan nasional kepada almarhum KH Abdurrahman Wahid yang diakrabi jutaan orang dengan sapaan Gus Dur, tidak lebih penting dari meneladani keluhuran pribadi ulama akbar itu.
Mereka, dan juga keluarga besar Gus Dur, agaknya nyinyir dengan perkembangan yang seolah-olah gelar pahlawan nasional adalah segala-galanya. Padahal mereka tahu pasti bahwa Gus Dur, mengutip budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, hanya mementingkan rakyat, bukan status dirinya.
Bagi mereka, jika pun negara menggelari Gus Dur pahlawan nasional, maka itu adalah resultante dari apresiasi luas masyarakat, bukan negara yang mendahului masyarakat.
Mereka merasa tidak perlu menghiba-hiba agar Gus Dur menjadi pahlawan nasional karena itu merendahkan dirinya, sekaligus mendegradasi predikat pahlawan nasional itu sendiri.
Seorang warga Mojowarno, Jombang, Kholil Rosidi, bahkan berkata, "Gelar pahlawan di Indonesia terlalu murah, karena itu Gus Dur tak perlu dijual murah. Pengakuan masyarakat lebih penting."
Dan ketika kedatangan Dinas Sosial (Dinsos) Jawa Timur, Senin (4/1), sebagai tim pencari fakta ke Jombang untuk mempelajari usulan gelar pahlawan nasional bagi almarhum Presiden RI keempat itu tampaknya tidak membawa hasil apapun, warga Jombang tidak masygul.
"Mereka (Dinsos) tidak membawa dokumen penting dari keluarga di Pesantren Tebuireng. Mereka memang minta beberapa data pribadi tentang Gus Dur, tapi data-data itu ada pada keluarga di Ciganjur, Jakarta, bukan di Tebuireng," kata sepupu Gus Dur, Gus Irfan Yusuf.
Kepada ANTARA di sela-sela persiapan peringatan tujuh hari wafatnya Gus Dur di kompleks pesantren Tebuireng, Selasa malam (5/1), putra almarhum KH Yusuf Hasyim tersebut menyatakan tim Dinsos Jatim itu hanya mendapatkan surat yang dijanjikan Pemkab Jombang.
"Pemkab Jombang menyatakan siap memberikan surat-surat yang diperlukan tim Dinsos Jatim untuk memproses usulan pengajuan gelar pahlawan nasional itu. Pemkab Jombang akan membuatkan surat yang dibutuhkan untuk usulan itu," katanya.
Namun, katanya, keluarga sendiri tidak mementingkan pengakuan resmi negara karena keluarga lebih mementingkan pengakuan masyarakat.
"Bagi keluarga, pengakuan masyarakat terhadap kepahlawanan Gus Dur itu lebih penting. Pengakuan pemerintah itu tidak akan ada artinya apa-apa bila tidak ada pengakuan dari masyarakat," katanya.
Ia menilai bila ada pengakuan dari pemerintah, maka pengakuan itu merupakan implementasi dari apa yang berkembang di masyarakat saja. "Selama ini, Gus Dur juga lebih melihat apa yang berkembang di masyarakat," katanya.
Pandangan Gus Irfan itu senada dengan pernyataan Cak Nun saat menyampaikan cerita tentang Gus Dur di sela-sela pembacaan selawat kesukaan Gus Dur pascatahlil di kompleks pesantren itu.
"Gus Dur merupakan sosok yang tidak tertarik dengan apa-apa, karena Gus Dur justru lebih memikirkan kesejahteraan masyarakat, bukan dirinya, karena itu Gus Dur dan keluarganya tidak memerlukan gelar pahlawan atau tidak," katanya.
Menurut budayawan yang dekat dengan Gus Dur itu, gelar pahlawan untuk Gus Dur itu terserah kepada Presiden, karena Gus Dur tidak memerlukan itu, apalagi keluarganya.
"Saya yakin, keluarga Gus Dur tidak akan mau mengemis gelar pahlawan itu, karena pengakuan masyarakat lebih tinggi. Negara itu didirikan oleh rakyat, karena itu pengakuan rakyat lebih tinggi dibandingkan dengan pengakuan negara," kilahnya.
Tiga teladan
Agaknya, gelar pahlawan memang tidak menarik. Salah seorang putri Gus Dur yakni Zannubah Arifah Chafsoh (Yenny Wahid) ketika memberi sambutan pada peringatan tujuh hari wafat ayahandanya, malah mengingatkan tiga pesan Gus Dur.
"Banyak hal yang dapat dijadikan suri tauladan dari Gus Dur, sehingga Gus Dur menjadi dekat di hati banyak orang dan akhirnya banyak orang yang merasa kehilangan," katanya.
Didampingi kakaknya Annisa mewakili keluarga Gus Dur, Yenny mengaku, keluarganya yang kehilangan Gus Dur merasa terobati oleh banyaknya orang yang merasa kehilangan almarhum.
"Karena itu, kita harus meneladani beliau. Ada tiga pesan Gus Dur yang perlu kita teladani yakni keihlasan, ilmu dan ahlak, serta berani menegakkan keadilan," katanya.
Menurutnya, keihlasan yang ditunjukkan Gus Dur adalah bertindak tanpa pernah pamrih, bahkan Gus Dur tidak pernah memikirkan diri sendiri, melainkan semuanya untuk masyarakat.
"Selelah apa pun atau sesibuk apa pun, Gus Dur selalu datang untuk memenuhi undangan orang, apakah orang itu punya jabatan atau tidak, apakah orang itu tinggal di kota atau di gunung-gunung," katanya.
Teladan lainnya, ilmu dan ahlak. "Di tengah operasi menjelang meninggal dunia, Gus Dur masih minta buku dalam rekaman. Artinya, hingga menjelang meninggal dunia pun Gus Dur masih mementingkan ilmu. Itu harus diteladani anak zaman sekarang," katanya.
Tentang akhlak, Gus Dur mengajarkan pentingnya dekat dengan ulama, karena bila dekat dengan ulama, maka ahlak akan terjaga.
"Dalam konteks akhlak, Gus Dur pernah menceritakan Pandawa dan Kurawa dalam dunia pewayangan selalu digambarkan orang baik dan orang jelek, padahal Kurawa juga perlu dirangkul, karena Kurawa adalah orang jelek yang ingin memperbaiki ahlak untuk menjadi Pandawa," katanya.
Tentang keberanian menegakkan kebenaran, katanya, Gus Dur selalu tampil di depan untuk membela orang yang teraniaya.
"Itu artinya, Gus Dur mengingatkan para pemimpin agar setiap kebijakan yang dibuat tetap mengacu kepada kesejahteraan rakyat," katanya.
Walhasil, keluarga Gus Dur dan orang Jombang sendiri agaknya lebih mementingkan meneladani Gus Dur dibandingkan dengan memikirkan gelar pahlawan untuk Gus Dur.
Warisan Gus Dur
Tiga biksu menyeruak di antara kerumunan orang yang mengantarkan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke pemakaman di kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang (31/12/2009).
Pemakaman "Guru Bangsa" itu tidak hanya dihadiri sejumlah aktivis lintas agama, namun juga dari kalangan lintas etnis dan lintas strata sosial yang merasa kehilangan sosok yang sangat pluralis itu.
Buktinya, sejumlah warga Tionghoa Jawa Timur juga terlihat menjemput kedatangan jenazah almarhum mantan Presiden ke-4 RI itu di Bandara Internasional Juanda, Surabaya.
"Saya dan beberapa teman ikut menjemput jenazah beliau, karena Gus Dur bukan hanya milik orang NU, beliau juga milik orang Tionghoa," kata aktivis Tionghoa, Hendy Prayogo.
Menurut Sekretaris Persatuan Masyarakat Tionghoa Indonesia (PsMTI) Jatim itu, sejumlah aktivis Tionghoa juga ingin mengantarkan jenazah Gus Dur ke Jombang untuk dimakamkan.
"Kami juga akan ke Jombang, karena kami merasa kehilangan sekali. Bagaimana pun, Gus Dur itu orang yang berjasa untuk kami, beliau juga berjuang untuk kami," katanya.Apa sebenarnya warisan Gus Dur yang sangat dekat dengan berbagai kalangan itu ?
"Warisan berharga dari Gus Dur adalah pandangan bahwa perbedaan itu dapat dikelola menjadi kekuatan melalui penerimaan terhadap perbedaan itu sendiri," kata aktivis Lembaga Bantuan Pewarganegaraan (LBP) Jatim itu.
Perbedaan itu kekuatan ?! "Ya, itulah warisan Gus Dur. Beliau itu berbeda dengan Orde Baru. Kalau Orde Baru itu menilai kesamaan atau penyeragaman itu kekuatan, tapi Gus Dur sebaliknya bahwa perbedaan itu merupakan kekuatan," katanya.
Agaknya, sepak terjang Gus Dur seperti itu membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjuluki mantan pendahulunya itu sebagai Bapak Pluralisme yang patut menjadi tauladan bagi seluruh bangsa.
"Kita telah kehilangan putra terbaik bangsa, guru, bapak bangsa, dan negarawan yang terhormat. Hari ini kita semua, seluruh rakyat Indonesia berkabung atas wafatnya K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab di masyarakat dengan panggilan Gus Dur," katanya mengawali sambutan dalam memimpin upacara kenegaraan pemakaman Gus Dur di kompleks Pondok Pesantren (PP) Tebuireng (31/12/2009).
Menurut Kepala Negara, sejarah bangsa ini tidak lepas dari peran serta Gus Dur. Ia menyebutkan, pada awal 1990-an, Gus Dur bersama beberapa rekan-rekannya membentuk Forum Demokrasi (Fordem).
"Forum itu memberikan pelajaran kepada kita mengenai strategi berdemokrasi dalam menciptakan perdamaian. Beliau juga merupakan tokoh berpengaruh, tidak hanya nasional, melainkan juga internasional," kata Presiden.
Presiden menilai pluralisme dan multikulturalisme yang diajarkan Gus Dur tidak hanya menjadi inspirasi elemen bangsa ini, tetapi bangsa-bangsa di dunia.
"Oleh sebab itu, Gus Dur merupakan Bapak Pluralisme yang telah memberikan inspirasi bagi kita semua. Namun sebagai sosok manusia biasa, Gus Dur tidak luput dari khilaf dan kekurangan," katanya.
Perbedaan itu Kekuatan
Agaknya, pluralisme Gus Dur sudah lama terlihat sejak cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) K.H. Hasyim Asy`ari itu mengawali pendidikan agamanya di PP Tegalrejo Magelang dan PP Tambakberas Jombang.
Dari situ, Gus Dur pun mengalami "pluralisme" dengan menimba ilmu di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir dan Universitas Baghdad, Irak, bahkan Gus Dur mendapatkan gelar doktor Honoris Causa dari sejumlah perguruan tinggi ternama di Jepang, Korea Selatan, Perancis, Thailand, dan Israel.
Tidak hanya itu, Gus Dur juga memiliki "pluralisme" dengan menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Ketua Forum Demokrasi (Fordem), Ketua Umum PBNU (tiga periode), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), anggota MPR, Ketua Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Presiden ke-4 RI.
Pluralisme Gus Dur juga terbaca dalam pemikiran Gus Dur terkait usulan agar TAP MPRS Nomor XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut, sehingga timbul kontroversi.
Selain itu, Gus Dur juga pernah mengumumkan Tahun Baru China (Imlek) menjadi hari libur nasional dan mencabut larangan penggunaan huruf Tionghoa, berusaha membuka hubungan dengan Israel, sempat tercatat dalam keanggotaan Yayasan Shimon Peres, memisahkan Polri dari TNI, mengembalikan nama Papua, merintis perdamaian dengan GAM di Aceh, dan banyak "pluralisme" lain.
Menurut mantan Ketua PWNU Jawa Timur, Dr. KH. Ali Maschan Moesa, MSi, pemikiran "pluralisme" Gus Dur itu tak dapat dilepaskan dari NU dan Indonesia.
"NU dan Indonesia mengajarkan Gus Dur tentang dialektika hubungan antara agama dan negara, sehingga Gus Dur melihat pentingnya toleransi, menghargai kemanusiaan, dan sikap yang moderat bagi orang Indonesia," katanya.
Oleh karena itu, kepemimpinan Gus Dur di PBNU (1984-1999) mengispirasi "Guru Bangsa" itu untuk memperkuat keputusan Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935 bahwa umat Islam tak berkewajiban mendirikan negara Islam.
"Karena itu, Gus Dur selama memimpin PBNU pun memperkuat perumusan Pancasila dan Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme adalah dasar pendirian bangsa Indonesia, begitu kata Gus Dur. Gus Dur sangat Pancasilais, beliau mementingkan Bhinneka Tunggal Ika atau Berbeda Tapi Satu," katanya.
Ali Maschan menilai pendekatan pemikiran ala NU yang melihat persoalan Indonesia secara majemuk itulah yang ingin diwariskan Gus Dur kepada bangsa Indonesia yang memiliki Pancasila.
"Tanpa pemikiran yang moderat ala NU, konflik akan selaku berkembang di masyarakat yang majemuk seperti Indonesia," katanya.
Selama hidupnya, Gus Dur selalu mementingkan kepentingan orang banyak, baik umat Islam maupun umat non-Islam. "Gus Dur tidak pernah membeda-bedakan orang, siap berbeda pendapat tanpa harus bermusuhan," katanya.
Hal itu juga dibenarkan Ketua II Pengurus Pusat Majelis Muslim Papua (MMP), Fadhal Alhamid.
"Di era Gus Dur, kebebasan berkumpul, berserikat dan berekspresi diberikan seluas-luasnya, termasuk untuk rakyat Papua dalam hal menentukan identitasnya. Beliau memberi izin Kongres Rakyat Papua pada tahun 2000, beliau mengembalikan nama Papua," katanya.
"Perbedaan itu kekuatan," demikian warisan berharga dari `Sang Guru Bangsa` yang mengingatkan jatidiri bangsa Indonesia yang majemuk dan memiliki semboyan `Bhinneka Tunggal Ika.
Sumber : antaranews.com
0 komentar:
Posting Komentar