Dibalik Nama PANCASILA


Setiap Oktober dan November kita selalu memperingati hari-hari bersejarah, dan hati kita bagaikan terbakar oleh api patriotisme manakala kita memaknainya dengan refleksi mendalam.

Jiwa dan semangat pengabdian pada Ibu Pertiwi disegarkan kembali oleh kisah historis-herois-patriotis, sarat dengan nilai-nilai sejarah bangsa yang sepatutnya kita lestarikan.

Tanggal 5 Oktober adalah hari lahirnya TNI yang berasal dari kelompok-kelompok perjuangan, dan dari semua suku di Nusantara yang terpanggil untuk mempertahankan kemerdekaan. Sedangkan 28 Oktober adalah hari Sumpah Pemuda yang merupakan "hari lahirnya Kebangsaan Indonesia".

Lalu 10 November adalah Hari Pahlawan, yang awalnya ditandai perjuangan berdarah arek-arek Soroboyo (Jawa Timur), kemudian diikuti pemuda pejuang di hampir semua daerah di Indonesia yang bangkit melawan penjajah kendati hanya bersenjatakan bambu runcing dan berbekal semangat "Merdeka atau Mati".

Sejarah panjang Keindonesiaan yang membuahkan kemerdekaan itu pada hakikatnya digelorakan oleh semangat perubahan/pembaruan yang disuburkan oleh mosaik nilai-nilai keadilan, kekeluargaan, gotong-royong, kebersamaan, toleransi, mufakat, persatuan, komitmen, keberanian, keuletan, sikap pantang menyerah dan yang terpenting adalah keteladanan.

Para founding fathers/mothers telah membingkai nilai-nilai tersebut dalam pigura Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa (Weltanschauung) yang secara legal-formal ditetapkan bersamaan dengan diberlakukannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.

Berarti pula Pancasila telah disepakati dan resmi menjadi Jatidiri Bangsa Indonesia yang harus dibentuk lewat proses akbar Character Building yang tetap berkelanjutan (never ending process).

Namun pertanyaan besar yang selalu menggelitik nurani kita adalah apakah nilai-nilai tersebut masih tetap hidup dalam sanubari anak-anak bangsa Indonesia?

Berbagai fenomena memperlihatkan betapa nilai-nilai tersebut mengalami erosi dan degradasi. Padahal para founding fathers/mothers secara sangat cerdas, arif dan visioner telah memformulasikan Pancasila sebagai buah perkawinan antara "lokalitas dan universalitas" yang sangat tepat dan relevan karena benar-benar berakar dan bersumber pada ranah Keindonesiaan yang ideal sekaligus realistis.

Prof. Syafii Maarif mengapresiasinya sebagai masterpiece (karya agung) anak bangsa dan Jacob Oetama menyebutnya sebagai hasil dari pemikiran cerdas yang mendahului zamannya.

Mengapa Pancasila?

Pada saat proses perumusan tersebut, secara global telah berkembang paham individualisme-liberalisme serta kolektivisme sebagai acuan negara-negara baru dalam merumuskan platform kenegaraannya.

Namun para bapak bangsa tidak mengadopsi kedua paham besar tersebut. Sistem liberal yang merupakan anak kandung individualisme justru ditentangnya karena dianggap menurunkan kapitalisme serta kolonialisme/imperialisme.

Mereka juga menafikan kolektivisme ala Marxis-Leninis yang menurunkan diktatorisme/otoritarianisme. Founding fathers lebih memilih sistem "negara kekeluargaan" yang digali dari akar budaya bangsa sendiri.

Oleh karena Pancasila digali oleh Bung Karno dan kawan-kawan dari akar budaya bangsa sendiri, maka Pancasila amat membumi sehingga apabila dikembangkan dan diimplementasikan akan menjadi "jatidiri bangsa" serta perekat yang ampuh, bagi kelanjutan eksistensi Indonesia.

Ada sejumlah pertimbangan mengapa founding fathers memilih Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, yaitu, pertama, secara demografis bangsa kita memiliki pluriformitas yang sangat lebar dari berbagai aspek (multidimensi). Dengan jumlah penduduk yang sangat besar (keempat terbesar di dunia), terdapat kesenjangan multiaspek misalnya aspek pendidikan, ekonomi, sosial dan kultural.

Kedua, secara kultural, dalam masyarakat Indonesia di seluruh Nusantara mendarah-daging nilai-nilai luhur seperti kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, keramah-tamahan, budi pekerti dan sebagainya, meski menurut antropolog budaya terkemuka mendiang Prof. Dr. Koentjaraningrat, juga mengidap simptom penyakit sosial yang negatif, seperti berwatak "feodalistis", "munafik", "suka mencari kambing hitam" dan "malas" (pasif, rendah dalam inisiatif, kreasi dan inovasi).

Untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai luhur bangsa serta mengatasi penyakit budaya tersebut, satu-satunya jalan/cara terapi adalah pendidikan yang berkualitas, berorientasi pada pembangunan jatidiri bangsa Indonesia (nation and character building). Persoalannya, sistem pendidikan nasional saat ini justru bermasalah, karena lebih menekankan aspek transfer of knowledge daripada transfer of values.

Ketiga, secara geografis, negara kita merupakan negara kepulauan (archipelagic country) dengan garis pantai yang amat panjang (nomor dua terpanjang di dunia), terletak pada posisi silang yang amat strategis serta amat kaya dengan Sumber Daya Alam.

Kondisi ini melahirkan banyak keuntungan namun juga berpotensi kerawanan, termasuk masuknya kepentingan-kepentingan asing (regional dan global) dan sulitnya pengawasan wilayah.

Keterpilihan atau Keterwakilan

Namun dalam perjalanan sejarahnya ternyata Pancasila yang sejak awal diidealkan menjadi common platform bangsa-negara tidak pernah diimplementasikan dan dikembangkan secara konsisten.

Pada era Bung Karno yang secara eksperimental menerapkan Demokrasi Terpimpin dan secara kontradiktif memaksakan Nasakomisasi yang justru bertentangan dengan Pancasila.

Lalu pada era Orba (Pak Harto) terjadi banyak deviasi atau penyimpangan dalam implementasi Pancasila karena maraknya korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) dan feodalisme

Memasuki era Reformasi kesiapan melakukan perubahan ternyata hanya sekedar menumbangkan rezim lama yang otoriter dan menggelar demokratisasi (liberal) yang pada hakikatnya tidak pas dengan akar budaya bangsa.

Derasnya arus Globalisasi justru membolehkan masuknya ragam ideologi yang bertentangan seperti liberalisme-kapitalisme, Wahabisme, American Evangelism yang agresif serta fundamentalisme lainnya bahkan Radikalisme yang kerap disertai terorisme.

Memang diakui bahwa tidak sedikit kemajuan berbagai bidang yang dibuka oleh keran demokrasi, seperti tumbuhnya check and balances dalam pemerintahan, partisipasi politik, kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan pers (sayangnya malah kebablasan).

Namun, di sisi lain harus pula kita sadari bahwa transisi demokrasi yang bersifat instan di Indonesia mengandung potensi konflik yang amat besar.

Pada era reformasi Pancasila tidak hanya sekedar diselewengkan, tetapi malah dianggap kuno, lebih ekstrim lagi ada yang menganggapnya sudah merupakan fosil, sebagai "ideologi gagal" yang tabu untuk dibicarakan.

Demokrasi Pancasila telah digantikan oleh demokrasi liberal dengan ciri pemilihan langsung one man-one vote, sistem perwakilan serta musyawarah-mufakat yang bercirikan respek terhadap kelompok minoritas telah digantikan sistem voting. Hal ini mengakibatkan aspek keterwakilan terutama dari aspek etnik menjadi lemah.

Patut diingat kembali penegasan Bung Hatta bahwa prinsip demokrasi adalah "keterwakilan" yang mengedepankan egalitarianisme. Sementara praktik demokrasi di Indonesia dewasa ini justru "membunuh" prinsip egaliter dan keterwakilan itu. Sebagai bukti/contoh empiris, seharusnya Suku Badui, Anak Dalam dan berbagai kelompok minoritas diwakili dengan cara "ditunjuk", bukan dipilih (karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan free fight), agar kepentingan mereka dapat diperjuangkan di parlemen.

Keterwakilan juga merupakan perekat bagi masyarakat yang serba majemuk seperti Indonesia. Sebagai perbandingan, Suku Mohawk di Kanada yang sudah sangat minim jumlahnya, mendapat wakil diparlemen dengan cara ditunjuk.

Adalah fatal jika mengidentikkan demokrasi dengan voting karena hal itu hanyalah salah satu cara dalam berdemokrasi. Musyawarah mufakat dan penunjukan berdasarkan asas egalitarian pun merupakan cara berdemokrasi yang elegan, benar, etis, dan rasional, yang secara obyektif sangat tepat diterapkan dalam konteks Keindonesiaan.

Kini pola individualisme serta liberalisme telah mewarnai demokrasi Indonesia sehingga memudarkan ciri Keindonesiaan dan menyuburkan Machiavelisme, politik uang, anarkisme bahkan konflik politik yang kerap meluas.

Dari aspek ekonomi, sistem liberal telah mendorong kita menjadi fundamentalis pasar bebas, membuka sangat lebar pintu partisipasi aktor-aktor internasional yang mengakibatkan kuatnya posisi dan pengaruh Multi Nasional Corporations (MNC) serta lembaga keuangan supra-nasional seperti IMF, Bank Dunia dan lainnya dalam perekonomian nasional.

Liberalisasi ekonomi yang diikuti gelombang privatisasi dan pelaksanaan Otonomi Daerah yang kurang terkontrol mengakibatkan banyaknya sumber daya alam dan permodalan dikuasai oleh kapitalis asing, sehingga pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional menjadi semu, karena tidak dinikmati oleh rakyat kita.

Sedangkan dari perspektif budaya, seiring dengan berkembang biaknya virus neoliberalisme, berkembang pula sikap atau mentalitas bangsa yang individualistis, materialistis, hedonistis serta konsumtif yang melemahkan daya tahan bangsa kita.

Patut kita jadikan pelajaran berharga apa yang dialami Uni Soviet pada masa lalu. Union Country yang memiliki 140 etnis ini pecah menjadi 15 negara setelah Glasnost/Perestroika dan masih potensial untuk menjadi puluhan negara.

Dalam konteks ini dapat dibayangkan apa yang mungkin (bakal) terjadi di Indonesia dengan lebih dari 1072 kelompok etnis yang berdiam di 3000-an pulau. Jika tidak dibentengi Pancasila, dipagari nasionalisme serta dikawal oleh kesadaran bela negara dan patriotisme yang kokoh-tangguh, siapakah yang bisa menjamin bahwa eksistensi NKRI dapat terhindar dari disintegrasi.

Reaktualisasi Pancasila

Hemat saya, langkah awal yang penting dan strategis adalah melakukan "Konsolidasi Keindonesiaan". Untuk melakukan pekerjaan akbar tersebut mau tidak mau harus pula menyentuh kaji ulang terhadap UUD 1945 hasil amandemen serta revisi sejumlah Perundang-undangan, karena sudah tidak lagi sesuai dengan jiwa dan semangat Mukadimah UUD 1945 karena lebih memihak pada kepentingan asing khususnya kepentingan korporasi multinasional.

Sekedar contoh kecil: UUD hasil amandemen yang mengebiri peran MPR, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal yang memberi kesempatan pada modal asing untuk menggunakan lahan sampai ratusan ribu hektar dengan Hak Guna Usaha (HGU) sampai 95 tahun dan dapat diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun serta dapat diperbaharui selama 35 tahun.

Ini berarti mereka bisa menguasainya selama 190 tahun. Contoh lainnya adalah Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang pada prinsipnya telah mengkomersialisasikan pendidikan nasional serta memberikan akses terlalu lebar bagi masuknya modal asing dalam dunia pendidikan.

Dengan regulasi seperti itu niscaya sulit bagi bangsa Indonesia untuk menumbuh-kembangkan kembali Pancasila dan nilai-nilai Keindonesiaan serta mengawal kepentingan nasional.

Langkah berikutnya adalah menjadikan pembangunan sektor budaya menjadi Leading Sector dalam pembangunan nasional. Dalam konteks ini pembenahan sistem pendidikan nasional (sisdiknas) mutlak harus dilakukan, sisdiknas harus menjadi penjuru dalam pembangunan karakter bangsa (Character building), moto "pendidikan berbasis kompetensi" perlu dikoreksi menjadi "pendidikan berbasis karakter dan kompetensi".

Selanjutnya pembangunan dan penegakan hukum juga harus menjadi prioritas utama guna membersihkan virus KKN dan menegakkan disiplin nasional, karena disiplin juga harus menjadi salah-satu ciri atau identitas bangsa.

Reformasi Parpol dan Birokrasi merupakan keharusan dalam pembangunan jatidiri bangsa, karena Parpol memiliki fungsi rekrutmen atau kaderisasi pemimpin bangsa. Sedangkan birokrasi bertugas melakukan eksekusi kebijakan-kebijakan tadi. Sehingga para pemimpin dan anggota kedua lembaga tersebut harus berkarakter dan menjadi teladan bagi rakyat yang dipimpinnya.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat menyegarkan kembali semangat, nasionalisme, patriotisme serta menyentakkan tanggung jawab moral kita akan pekerjaan akbar serta strategis-visioner, yaitu pembangunan Jatidiri Bangsa Pancasila yang terabaikan. (***)

Oleh : Kiki Syahnakri*
Sumber : antaranews.com
*Kiki Syahnakri adalah Ketua I Yayasan Jatidiri Bangsa; mantan Wakil Kepala Staf TNI AD; dan mantan Pangdam Udayana.

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Otomatis Pahlawan Nasional

Pada tanggal 30 Desember 2009, Presiden RI keempat KH Abdurrahman Wahid, wafat di usia ke-69, dan hanya beberapa jam setelah guru bangsa ini mangkat, masyarakat mengusulkannya menjadi pahlawan nasional.

Tapi, catatan dan testimoni mengenai sumbangsih kyai besar ini pada bangsa, peradaban dan manusia, mengalir deras dan terlampau besar untuk dibingkai oleh sekedar gelar pahlawan nasional.

Bahkan, mantan Ketua MPR Amien Rais menganggap tokoh yang akrab disapa Gus Dur ini otomatis pahlawan nasional.

Jadi, tak ada satu keraguan pun untuk menyebut Gus Dur pahlawan nasional karena dia telah melampaui dirinya dalam memajukan nilai-nilai kemanusiaan yang juga diperjuangan para pahlawan dan pencerah besar dunia, semasa dan sebelum masanya.

Salah satu nilai kepahlawan yang menonjol darinya adalah pembelaan heroiknya terhadap kesetaraan. Tak hanya ras, tapi juga kesempatan sosial, hak politik, jender, dan praktik berkeyakinan.

Tema kesetaraan pula yang menjadi salah satu judul agung perjuangan tokoh-tokoh besar manusia, dari era Yunani kuno, zaman para nabi, revolusi-revolusi sosial seperti Revolusi Prancis, dekolonisasi Asia dan Afrika, hingga perjuangan memperoleh hak-hak sipil di beberapa dekade lalu.

"Perjuangan mencapai kesetaraan adalah tema besar dalam sejarah dunia," kata penulis Amerika J.R. Pole, yang dalam bukunya "The Pursuit of Equality in American History" menyebut Revolusi Amerika diawali oleh semangat kesetaraan.

Gus Dur memperjuangkan kesetaraan seperti itu.

Dia ikhlas dan tak henti mendampingi kelompok lemah seperti Nabi Musa AS membela minoritas Bani Israel di zaman Firaun, atau seperti Cipto Mangunkusumo, Danudirja Setiabudi dan Suwardi Suryaningrat dalam memelopori perlawanan damai mendobrak "politik kelas" kolonial Belanda.

Gus Dur juga memproklamasikan kebhinekaan seterang-terangnya.

Begitu menjadi Presiden RI, dia memulihkan hak-hak minoritas keturunan Tionghoa, mengizinkan Papua mengenakan identitasnya, bahkan mengawali peta damai di Aceh.

"Kami merasa diperhatikan dan dihargai sebagai etnis yang minoritas di negeri ini," kata tokoh etnis Tionghoa Madura, Kosala Mahinda (Antara, 31/12).

Langkahnya itu mungkin semonumental Presiden AS ke-16 Abraham Lincoln yang menghapus perbudakan, Nelson Mandela yang menumbangkan diskriminasi ras di Afrika Selatan, atau Martin Luther King yang berjuang untuk hak-hak sipil warga kulit hitam AS.

Membebaskan

Gus Dur paham benar bahwa kesetaraan adalah inti demokrasi dan jiwa bangsa majemuk seperti negerinya Indonesia.

Kesetaraan melahirkan sikap toleran, dan sikap ini pula yang membuat mayoritas penduduk Nusantara menerima Islam di abad lalu, atau Andalusia menerima Bani Ummayyah 11 abad silam seperti sejarawan Inggris Martin Sharp Hume menggambarkannya dalam "Spanish People."

Bersama demokrasi, mengutip profesor linguistik Noam Chomsky, kesetaraan itu esensial bagi kelangsungan hidup manusia.

"Kesetaraan berlaku universal, abadi, dan membebaskan manusia," sambung filsuf Alexis de Tocqueville.

Tetapi kesetaraan yang dikonsepsikan dan diperjuangkan Gus Dur tak besar karena pemikiran luar masyarakatnya semata. Sebaliknya, dia gali dari masyarakatnya dan tumbuh dari fondasi berketuhanan yang kokoh.

Dia berilmu amat tinggi, memahami luar dalam bangsanya, dan konsisten bersisian dengan kaum lemah.

Dengan kecerdasannya dia sebenarnya bisa sampai di universitas-universitas hebat dunia, namun ulama besar ini memilih memuliakan dirinya bersama rakyat kecil.

Penulis Australia Greg Barton melukiskan pemihakan Gus Dur pada rakyat kecil itu pada salah satu bagian buku, "Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid."

Pada 1970an, pesantren berjuang keras mendapatkan pendanaan pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Gus Dur memprihatinkan keadaan ini bakal melunturkan nilai tradisional pesantren, tetapi dia juga mempedulikan kemiskinan pesantren.

Kerisauan itu membuatnya urung belajar di luar negeri dan memilih mengembangkan pesantren. Beberapa tahun kemudian, dia tak saja berhasil memberdayakan pesantren, namun juga mereformasi Nahdlatul Ulama.

Harapan

Gus Dur adalah teladan untuk kesederhanaan, kepercayaan diri, keikhlasan, pengenalan mendalam atas banyak tema hidup, dan tentang hidup yang meninggikan esensi.

Dia mengajarkan keberanian seperti Rasulullah menitahkan umatnya, "qulil-haqqa walau kaana murran (Katakanlah kebenaran itu walaupun pahit)."

Bagi mereka yang mengikuti politik era 1980an dan awal 1990an di mana Soeharto kuat mencengkram dan hampir semua orang membeo kepada Soeharto, Gus Dur adalah salah seorang tervokal dari sedikit orang yang berani kritis.

Kritik tajamnya yang selalu menghias media asing seperti BBC karena media nasional dimandulkan rezim, telah menyemangati para pembela kaum terpinggirkan, seperti pada kasus Kedung Ombo dua dekade silam.

"Dia adalah harapan demokrasi," kata kolumnis Inggris, Gideon Rachman dalam blognya, blogs.ft.com/rachmanblog (31/12).

Gus Dur juga mengajari bangsanya tentang demokrasi dan kemanusiaan, tanpa ke luar dari identitas lokal bangsanya, karena dia memang besar dari perut rakyat.

Dia intelektual yang secara harmonis menginderai benar suhu tubuh bangsanya, sekaligus cerdas menyikapi atmosfer yang melingkupi bangsanya.

Konstruksinya mengenai demokrasi dibangun dari akar bangsanya, tidak mentah-mentah menelan konsepsi asing, bahkan secara kultural seeklektis pendahulunya, Bung Karno.

Mendobrak

Dalam pemerintahannya yang singkat, sesuai nama tengahnya "ad-Dakhil" yang juga nama penakluk Spanyol 12 abad lalu Abdurrahman ad-Dakhil, Gus Dur mendobrak banyak hal yang justru prinsipil dalam berdemokrasi.

Dia dudukkan tentara di tempatnya, dia sapih polisi dari militerisme, dia dorong supremasi sipil dalam bernegara.

Lengannya tak berlumur darah. Ucapannya, meski nyeleneh, selalu memiliki landasan teologis, intelektual dan sandaran norma sosial yang kuat.

Semua sikap, kata dan lakunya dibaktikan untuk yang terpinggirkan dan kelompok yang mesti diayomi oleh kaum yang lebih banyak.

Tiga puluh hari sebelum meninggal dunia, dalam derita fisik tak terperi, dia menjaminkan dirinya untuk dua Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.

Ini adalah bukti dia tak berhenti membela yang terzalimi, sekaligus abadi berjuang untuk kemanusiaan.

Segala sumbangsih, pemikiran, sikap dan lakunya jauh melampaui dirinya. Dan ini, mengutip sejarawan Anhar Gonggong, adalah esensi dari pahlawan.

Dua reformis ikonik yang acap berseberangan dengannya, Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais, bahkan memaklumatkan semua ukuran pahlawan nasional telah dipenuhi Gus Dur sehingga dia otomatis pahlawan nasional.

"Sudah selayaknya Gus Dur mendapatkan gelar pahlawan nasional, siapa pun atau pihak mana pun tidak perlu lagi mempersoalkannya," kata Amien Rais di Malang, Rabu pekan lalu (Antara, 2/1).

Tapi, jika gelar itu sulit untuk segera disematkan kepadanya karena diskusi kepahlawanan menjadi menjadi demikian politis seperti disebut editorial Media Indonesia (7/1), maka Gus Dur tetaplah pahlawan.

Pecinta kemanusiaan yang memahami benar berketuhanan dan pembaru dari semua pembaru itu bahkan lebih dari sekedar pahlawan nasional. Dia pahlawan kemanusiaan, dia pahlawan peradaban. (*)

Bagi warga Jombang, Jawa Timur, memberi predikat pahlawan nasional kepada almarhum KH Abdurrahman Wahid yang diakrabi jutaan orang dengan sapaan Gus Dur, tidak lebih penting dari meneladani keluhuran pribadi ulama akbar itu.

Mereka, dan juga keluarga besar Gus Dur, agaknya nyinyir dengan perkembangan yang seolah-olah gelar pahlawan nasional adalah segala-galanya. Padahal mereka tahu pasti bahwa Gus Dur, mengutip budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, hanya mementingkan rakyat, bukan status dirinya.

Bagi mereka, jika pun negara menggelari Gus Dur pahlawan nasional, maka itu adalah resultante dari apresiasi luas masyarakat, bukan negara yang mendahului masyarakat.

Mereka merasa tidak perlu menghiba-hiba agar Gus Dur menjadi pahlawan nasional karena itu merendahkan dirinya, sekaligus mendegradasi predikat pahlawan nasional itu sendiri.

Seorang warga Mojowarno, Jombang, Kholil Rosidi, bahkan berkata, "Gelar pahlawan di Indonesia terlalu murah, karena itu Gus Dur tak perlu dijual murah. Pengakuan masyarakat lebih penting."

Dan ketika kedatangan Dinas Sosial (Dinsos) Jawa Timur, Senin (4/1), sebagai tim pencari fakta ke Jombang untuk mempelajari usulan gelar pahlawan nasional bagi almarhum Presiden RI keempat itu tampaknya tidak membawa hasil apapun, warga Jombang tidak masygul.

"Mereka (Dinsos) tidak membawa dokumen penting dari keluarga di Pesantren Tebuireng. Mereka memang minta beberapa data pribadi tentang Gus Dur, tapi data-data itu ada pada keluarga di Ciganjur, Jakarta, bukan di Tebuireng," kata sepupu Gus Dur, Gus Irfan Yusuf.

Kepada ANTARA di sela-sela persiapan peringatan tujuh hari wafatnya Gus Dur di kompleks pesantren Tebuireng, Selasa malam (5/1), putra almarhum KH Yusuf Hasyim tersebut menyatakan tim Dinsos Jatim itu hanya mendapatkan surat yang dijanjikan Pemkab Jombang.

"Pemkab Jombang menyatakan siap memberikan surat-surat yang diperlukan tim Dinsos Jatim untuk memproses usulan pengajuan gelar pahlawan nasional itu. Pemkab Jombang akan membuatkan surat yang dibutuhkan untuk usulan itu," katanya.

Namun, katanya, keluarga sendiri tidak mementingkan pengakuan resmi negara karena keluarga lebih mementingkan pengakuan masyarakat.

"Bagi keluarga, pengakuan masyarakat terhadap kepahlawanan Gus Dur itu lebih penting. Pengakuan pemerintah itu tidak akan ada artinya apa-apa bila tidak ada pengakuan dari masyarakat," katanya.

Ia menilai bila ada pengakuan dari pemerintah, maka pengakuan itu merupakan implementasi dari apa yang berkembang di masyarakat saja. "Selama ini, Gus Dur juga lebih melihat apa yang berkembang di masyarakat," katanya.

Pandangan Gus Irfan itu senada dengan pernyataan Cak Nun saat menyampaikan cerita tentang Gus Dur di sela-sela pembacaan selawat kesukaan Gus Dur pascatahlil di kompleks pesantren itu.

"Gus Dur merupakan sosok yang tidak tertarik dengan apa-apa, karena Gus Dur justru lebih memikirkan kesejahteraan masyarakat, bukan dirinya, karena itu Gus Dur dan keluarganya tidak memerlukan gelar pahlawan atau tidak," katanya.

Menurut budayawan yang dekat dengan Gus Dur itu, gelar pahlawan untuk Gus Dur itu terserah kepada Presiden, karena Gus Dur tidak memerlukan itu, apalagi keluarganya.

"Saya yakin, keluarga Gus Dur tidak akan mau mengemis gelar pahlawan itu, karena pengakuan masyarakat lebih tinggi. Negara itu didirikan oleh rakyat, karena itu pengakuan rakyat lebih tinggi dibandingkan dengan pengakuan negara," kilahnya.

Tiga teladan

Agaknya, gelar pahlawan memang tidak menarik. Salah seorang putri Gus Dur yakni Zannubah Arifah Chafsoh (Yenny Wahid) ketika memberi sambutan pada peringatan tujuh hari wafat ayahandanya, malah mengingatkan tiga pesan Gus Dur.

"Banyak hal yang dapat dijadikan suri tauladan dari Gus Dur, sehingga Gus Dur menjadi dekat di hati banyak orang dan akhirnya banyak orang yang merasa kehilangan," katanya.

Didampingi kakaknya Annisa mewakili keluarga Gus Dur, Yenny mengaku, keluarganya yang kehilangan Gus Dur merasa terobati oleh banyaknya orang yang merasa kehilangan almarhum.

"Karena itu, kita harus meneladani beliau. Ada tiga pesan Gus Dur yang perlu kita teladani yakni keihlasan, ilmu dan ahlak, serta berani menegakkan keadilan," katanya.

Menurutnya, keihlasan yang ditunjukkan Gus Dur adalah bertindak tanpa pernah pamrih, bahkan Gus Dur tidak pernah memikirkan diri sendiri, melainkan semuanya untuk masyarakat.

"Selelah apa pun atau sesibuk apa pun, Gus Dur selalu datang untuk memenuhi undangan orang, apakah orang itu punya jabatan atau tidak, apakah orang itu tinggal di kota atau di gunung-gunung," katanya.

Teladan lainnya, ilmu dan ahlak. "Di tengah operasi menjelang meninggal dunia, Gus Dur masih minta buku dalam rekaman. Artinya, hingga menjelang meninggal dunia pun Gus Dur masih mementingkan ilmu. Itu harus diteladani anak zaman sekarang," katanya.

Tentang akhlak, Gus Dur mengajarkan pentingnya dekat dengan ulama, karena bila dekat dengan ulama, maka ahlak akan terjaga.

"Dalam konteks akhlak, Gus Dur pernah menceritakan Pandawa dan Kurawa dalam dunia pewayangan selalu digambarkan orang baik dan orang jelek, padahal Kurawa juga perlu dirangkul, karena Kurawa adalah orang jelek yang ingin memperbaiki ahlak untuk menjadi Pandawa," katanya.

Tentang keberanian menegakkan kebenaran, katanya, Gus Dur selalu tampil di depan untuk membela orang yang teraniaya.

"Itu artinya, Gus Dur mengingatkan para pemimpin agar setiap kebijakan yang dibuat tetap mengacu kepada kesejahteraan rakyat," katanya.

Walhasil, keluarga Gus Dur dan orang Jombang sendiri agaknya lebih mementingkan meneladani Gus Dur dibandingkan dengan memikirkan gelar pahlawan untuk Gus Dur.

Warisan Gus Dur

Tiga biksu menyeruak di antara kerumunan orang yang mengantarkan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke pemakaman di kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang (31/12/2009).

Pemakaman "Guru Bangsa" itu tidak hanya dihadiri sejumlah aktivis lintas agama, namun juga dari kalangan lintas etnis dan lintas strata sosial yang merasa kehilangan sosok yang sangat pluralis itu.

Buktinya, sejumlah warga Tionghoa Jawa Timur juga terlihat menjemput kedatangan jenazah almarhum mantan Presiden ke-4 RI itu di Bandara Internasional Juanda, Surabaya.

"Saya dan beberapa teman ikut menjemput jenazah beliau, karena Gus Dur bukan hanya milik orang NU, beliau juga milik orang Tionghoa," kata aktivis Tionghoa, Hendy Prayogo.

Menurut Sekretaris Persatuan Masyarakat Tionghoa Indonesia (PsMTI) Jatim itu, sejumlah aktivis Tionghoa juga ingin mengantarkan jenazah Gus Dur ke Jombang untuk dimakamkan.

"Kami juga akan ke Jombang, karena kami merasa kehilangan sekali. Bagaimana pun, Gus Dur itu orang yang berjasa untuk kami, beliau juga berjuang untuk kami," katanya.Apa sebenarnya warisan Gus Dur yang sangat dekat dengan berbagai kalangan itu ?

"Warisan berharga dari Gus Dur adalah pandangan bahwa perbedaan itu dapat dikelola menjadi kekuatan melalui penerimaan terhadap perbedaan itu sendiri," kata aktivis Lembaga Bantuan Pewarganegaraan (LBP) Jatim itu.

Perbedaan itu kekuatan ?! "Ya, itulah warisan Gus Dur. Beliau itu berbeda dengan Orde Baru. Kalau Orde Baru itu menilai kesamaan atau penyeragaman itu kekuatan, tapi Gus Dur sebaliknya bahwa perbedaan itu merupakan kekuatan," katanya.

Agaknya, sepak terjang Gus Dur seperti itu membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjuluki mantan pendahulunya itu sebagai Bapak Pluralisme yang patut menjadi tauladan bagi seluruh bangsa.

"Kita telah kehilangan putra terbaik bangsa, guru, bapak bangsa, dan negarawan yang terhormat. Hari ini kita semua, seluruh rakyat Indonesia berkabung atas wafatnya K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab di masyarakat dengan panggilan Gus Dur," katanya mengawali sambutan dalam memimpin upacara kenegaraan pemakaman Gus Dur di kompleks Pondok Pesantren (PP) Tebuireng (31/12/2009).

Menurut Kepala Negara, sejarah bangsa ini tidak lepas dari peran serta Gus Dur. Ia menyebutkan, pada awal 1990-an, Gus Dur bersama beberapa rekan-rekannya membentuk Forum Demokrasi (Fordem).

"Forum itu memberikan pelajaran kepada kita mengenai strategi berdemokrasi dalam menciptakan perdamaian. Beliau juga merupakan tokoh berpengaruh, tidak hanya nasional, melainkan juga internasional," kata Presiden.

Presiden menilai pluralisme dan multikulturalisme yang diajarkan Gus Dur tidak hanya menjadi inspirasi elemen bangsa ini, tetapi bangsa-bangsa di dunia.

"Oleh sebab itu, Gus Dur merupakan Bapak Pluralisme yang telah memberikan inspirasi bagi kita semua. Namun sebagai sosok manusia biasa, Gus Dur tidak luput dari khilaf dan kekurangan," katanya.

Perbedaan itu Kekuatan
Agaknya, pluralisme Gus Dur sudah lama terlihat sejak cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) K.H. Hasyim Asy`ari itu mengawali pendidikan agamanya di PP Tegalrejo Magelang dan PP Tambakberas Jombang.

Dari situ, Gus Dur pun mengalami "pluralisme" dengan menimba ilmu di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir dan Universitas Baghdad, Irak, bahkan Gus Dur mendapatkan gelar doktor Honoris Causa dari sejumlah perguruan tinggi ternama di Jepang, Korea Selatan, Perancis, Thailand, dan Israel.

Tidak hanya itu, Gus Dur juga memiliki "pluralisme" dengan menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Ketua Forum Demokrasi (Fordem), Ketua Umum PBNU (tiga periode), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), anggota MPR, Ketua Dewan Syura DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Presiden ke-4 RI.

Pluralisme Gus Dur juga terbaca dalam pemikiran Gus Dur terkait usulan agar TAP MPRS Nomor XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut, sehingga timbul kontroversi.

Selain itu, Gus Dur juga pernah mengumumkan Tahun Baru China (Imlek) menjadi hari libur nasional dan mencabut larangan penggunaan huruf Tionghoa, berusaha membuka hubungan dengan Israel, sempat tercatat dalam keanggotaan Yayasan Shimon Peres, memisahkan Polri dari TNI, mengembalikan nama Papua, merintis perdamaian dengan GAM di Aceh, dan banyak "pluralisme" lain.

Menurut mantan Ketua PWNU Jawa Timur, Dr. KH. Ali Maschan Moesa, MSi, pemikiran "pluralisme" Gus Dur itu tak dapat dilepaskan dari NU dan Indonesia.

"NU dan Indonesia mengajarkan Gus Dur tentang dialektika hubungan antara agama dan negara, sehingga Gus Dur melihat pentingnya toleransi, menghargai kemanusiaan, dan sikap yang moderat bagi orang Indonesia," katanya.

Oleh karena itu, kepemimpinan Gus Dur di PBNU (1984-1999) mengispirasi "Guru Bangsa" itu untuk memperkuat keputusan Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935 bahwa umat Islam tak berkewajiban mendirikan negara Islam.

"Karena itu, Gus Dur selama memimpin PBNU pun memperkuat perumusan Pancasila dan Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme adalah dasar pendirian bangsa Indonesia, begitu kata Gus Dur. Gus Dur sangat Pancasilais, beliau mementingkan Bhinneka Tunggal Ika atau Berbeda Tapi Satu," katanya.

Ali Maschan menilai pendekatan pemikiran ala NU yang melihat persoalan Indonesia secara majemuk itulah yang ingin diwariskan Gus Dur kepada bangsa Indonesia yang memiliki Pancasila.

"Tanpa pemikiran yang moderat ala NU, konflik akan selaku berkembang di masyarakat yang majemuk seperti Indonesia," katanya.

Selama hidupnya, Gus Dur selalu mementingkan kepentingan orang banyak, baik umat Islam maupun umat non-Islam. "Gus Dur tidak pernah membeda-bedakan orang, siap berbeda pendapat tanpa harus bermusuhan," katanya.

Hal itu juga dibenarkan Ketua II Pengurus Pusat Majelis Muslim Papua (MMP), Fadhal Alhamid.

"Di era Gus Dur, kebebasan berkumpul, berserikat dan berekspresi diberikan seluas-luasnya, termasuk untuk rakyat Papua dalam hal menentukan identitasnya. Beliau memberi izin Kongres Rakyat Papua pada tahun 2000, beliau mengembalikan nama Papua," katanya.

"Perbedaan itu kekuatan," demikian warisan berharga dari `Sang Guru Bangsa` yang mengingatkan jatidiri bangsa Indonesia yang majemuk dan memiliki semboyan `Bhinneka Tunggal Ika.


Sumber : antaranews.com